FOTO : Ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalbar ]
KH ZULFA Mustofa menjabat sebagai Penjabat Ketua Umum PBNU hanya selama 16 hari, dari 9 hingga 25 Desember 2025.
Sangat singkat. Walau hanya 16 hari, tentu ada jejak kegiatannya. Apa saja yang dilakukannya, simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Zulfa naik ke panggung bukan karena ambisi, melainkan karena keadaan darurat. Ditunjuk Syuriyah PBNU di Hotel Sultan, Jakarta, ia hadir sebagai solusi sementara di tengah dualisme kepemimpinan yang membuat PBNU seperti rumah besar dengan dua kepala keluarga, satu dapur, dan api kompor yang hampir menyambar tirai.
Situasinya genting, waktunya sempit, ekspektasinya rendah. Ia bukan dipanggil untuk membangun, tapi untuk menahan runtuh.
Selama 16 hari itu, Zulfa tidak membawa janji perubahan, apalagi program strategis. Ia sadar betul posisinya bukan ketua umum penuh, melainkan penjaga gawang darurat.
Tugasnya sederhana tapi krusial, memastikan organisasi tetap utuh, legitimasi Syuriyah tetap berdiri, dan PBNU tidak pecah sebelum Muktamar ke-35 digelar. Ia bukan arsitek, ia perancah. Tidak indah, tapi menentukan.
PBNU saat itu berada di fase paling rapuh. Dualisme antara Gus Yahya dan Syuriyah membuat struktur organisasi bergetar dari pusat sampai cabang. Setiap pernyataan bisa menjadi percikan, setiap langkah bisa jadi bensin.
Dalam situasi seperti itu, Zulfa dipaksa berjalan di tali tipis, terlalu aktif bisa dianggap manuver, terlalu pasif bisa dituduh tak berguna. Maka ia memilih jalan tengah, hadir, menjaga, dan tidak banyak bergerak.
Namun satu hal penting terjadi. Pada 16 Desember 2025, Zulfa berangkat ke Aceh. Di Pesantren Dayah Ummul Ayman, Samalanga, Kabupaten Bireuen, ia menyerahkan bantuan kemanusiaan sebesar Rp1 miliar dan 3.000 paket sembako.
Di tengah kisruh elite, ia memilih turun ke akar. Di saat kursinya belum hangat, ia justru membuktikan, jabatan sementara pun bisa melahirkan tindakan nyata. Bukan retorika, tapi beras dan uang tunai.
Ironinya, bantuan itu dibagikan hanya beberapa hari sebelum jabatannya berakhir. Pada 25 Desember 2025, bertepatan dengan Hari Natal, drama mencapai klimaks. Islah di Lirboyo terjadi. KH Miftachul Akhyar dan Gus Yahya berdamai, difasilitasi KH Ma’ruf Amin. Dualisme selesai hanya dengan satu jabat tangan. Seperti hukum alam dalam politik organisasi, ketika konflik berakhir, figur transisi otomatis gugur.
Zulfa tak diberhentikan secara dramatis. Tidak ada surat resmi, tidak ada konferensi pers perpisahan. Ia hanya kembali ke posisi semula, seolah 16 hari itu hanyalah mimpi singkat. Kursi panas yang sempat ia duduki dikembalikan kepada pemiliknya. Perannya selesai, fungsinya habis.
Kalau dianalogikan, Zulfa adalah pemain pengganti yang masuk saat tim hampir kalah karena konflik internal, menenangkan tempo permainan, lalu ditarik keluar ketika wasit meniup peluit akhir. Tidak mencetak gol, tapi tanpa kehadirannya, pertandingan bisa bubar sebelum selesai.
Enam belas hari itu memang terlalu singkat untuk prestasi struktural, tapi cukup untuk meninggalkan jejak simbolik. Ia menjadi penanda bahwa PBNU pernah berada di titik paling rawan, sampai harus melahirkan penjabat ketua umum dengan masa tugas tercepat dalam sejarahnya. Ia menjadi catatan kaki, tapi catatan kaki yang menjelaskan satu bab besar, betapa rapuhnya organisasi ketika elite bertarung.
Kini, nama Zulfa Mustofa mungkin tak lagi disebut dalam struktur, tapi akan selalu muncul setiap kali orang membicarakan masa transisi PBNU paling singkat, paling sunyi, dan paling absurd. Dalam politik organisasi, bukan durasi yang membuat orang dikenang, melainkan konteks. Konteks 16 hari itu terlalu tajam untuk dilupakan.
#camanewak
#jurnalismenyapa
#JYM

11 hours ago
2

















































