9 Alarm Bahaya Perlambatan Ekonomi Menyala: PHK-Kinerja Bank Memburuk

1 day ago 7

Jakarta, CNBC Indonesia - Sinyal melemahnya ekonomi domestik semakin jelas dalam sebulan terakhir. Berbagai indikator ekonomi menunjukkan ekonomi Indonesia tengah lesu dan butuh dobrakan tenaga untuk kembali menguat.

Tanda-tanda perlambatan dari sisi makroekonomi terkini hingga tenaga kerja dengan banyaknya pengangguran dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi indikasi bahwa lampu kuning telah menyala.

Berikut ini beberapa hal yang mengindikasikan terjadi kemunduran dan peringatan bagi seluruh warga Indonesia.

1. PMI Manufaktur Kembali Kontraksi

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Senin (2/6/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 47,4 atau mengalami kontraksi pada Mei 2025. Ini adalah kedua kali dalam dua bulan beruntun PMI mencatat kontraksi.

S&P Global menjelaskan aktivitas produksi dan pesanan baru kembali melemah, dengan penurunan pesanan baru yang bahkan lebih tajam dibanding April. Penurunan pesanan bahkan menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.

Lemahnya permintaan pasar dan lebih sedikit permintaan barang sebagai faktor utama dari jebloknya aktivitas manufaktur. Permintaan dari luar negeri juga kembali melemah, meskipun dengan laju yang lebih lambat, terutama ekspor ke Amerika Serikat.

Kondisi permintaan yang lemah ini turut mendorong penurunan lanjutan produksi untuk bulan kedua berturut-turut. Kendati masih dalam kategori solid, laju penurunan produksi lebih lambat dibanding bulan sebelumnya.

Jika PMI terus melemah maka hal itu akan membawa sejumlah konsekuensi mulai dari melambatnya penyerapan tenaga kerja, kinerja pertumbuhan ekonomi, hingga makin sedikitnya porduktivitas.

2. Deflasi April 2025

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan deflasi 0,37% pada Mei 2025 secara bulanan (month on month/mom). Secara tahunan artinya inflasi sebesar 1,60% year on year (yoy).

"Terjadi deflasi sebesar 0,37%," kata Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini dalam konferensi pers, Senin (2/6/2025).

"Kelompok makanan minuman dan tembakau deflasi 1,40% dan andil 0,41%," ungkapnya.

Secara spesifik, komoditas penyumbang deflasi adalah cabai merah dan cabai rawit dengan andil 0,12%. Kemudian bawang merah dengan andil 0,09%, ikan segar 0,05%, bawang putih 0,04% dan daging ayam ras 0,01%.

Deflasi pada Mei adalah yang ketiga kalinya sepanjang tahun ini setelah Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%). 

Deflasi ini bisa menjadi kabar buruk ataupun baik. Deflasi pada Mei bisa disebabkan oleh turunnya harga-harga pangan serta hilangnya efek lonjakan pembayaran tarif listrik setelah diskon 50%.

Namun, deflasi juga bisa menjadi kabar buruk karena bisa mencerminkan pelemahan daya beli. Terlebih, Indonesia sudah kerap mencatatkan deflasi pada tahun ini.
Melandainya harga barang bisa dipicu oleh melemahnya permintaan bukan lagi karena harga kembali normal atau pasokan yang mencukupi.

3. PDB Kuartal 1 Tak Sampai 5%

Pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2025 mencapai 4,87% (yoy). Pertumbuhan ini adalah yang terendah sejak kuartal III-2021 di mana pada saat itu Indonesia tengah dihantam pandemi Covid-19 gelombang Delta yang sangat mematikan.

Pertumbuhan kuartal I-2025 cukup mengkhawatirkan mengingat pada Maret 2025 (kuartal I) terdapat momen Ramadan yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga, tetapi hal ini belum mampu memberikan kontribusi yang maksimal bagi agregat Produk Domestik Bruto (PDB) RI.

4. Surplus Neraca Dagang Mengecil

Kinerja neraca perdagangan Indonesia masih terjaga surplus hingga April 2025. Namun, besarannya kian menyusut, bahkan menjadi yang terendah dalam 60 bulan terakhir.

Per April 2025, neraca perdagangan Indonesia masih surplus US$ 150 juta, seiring dengan kinerja ekspor yang tercatat sebesar US$ 20,74 miliar, dan impor US$ 20,59 miliar.

Namun, besaran surplus itu merosot dari catatan per Maret 2025 yang masih mampu mencapai US$ 4,33 miliar.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan, nilai neraca perdagangan per April 2025 ini juga menjadi yang terendah dalam kondisi surplus 60 bulan terakhir, atau sejak Mei 2020.

Pudji menjelaskan, terus melemahnya angka surplus ini disebabkan kinerja ekspor yang turunnya makin cepat ketimbang impor yang kini mulai naik dibanding bulan sebelumnya.

Surplus yang mengecil ini bisa membebani transaksi berjalan dan rupiah ke depan. Ekspor yang jatuh ke level terendah selama setahun terakhir juga menandai jika dampak perang dagang semakin nyata.

5. Ekspor Turun Tajam

Ekspor Indonesia pada April 2025 mencapai sebesar US$ 20,74 miliar atau naik 5,76% secara tahunan. Nilai ekspor ini lebih rendah dibandingkan Maret 2025, sebesar US$ 23,35 miliar dan merupakan yang terendah sejak April 2024.

Pudji mengatakan nilai ekspor migas tercatat US$ 1,17 miliar atau turun 13,38% dan nilai ekspor non migas tercatat naik 7,17% dengan nilai US$ 19,57 miliar.

Dengan penurunan ekspor, maka penerimaan pajak dan devisa akan berkurang, sehingga pemerintah memiliki lebih sedikit dana untuk pembangunan dan program sosial.

Sektor yang berhubungan dengan ekpor pun dapat terdampak dan bisa mengalami penurunan produksi yang berujung pada PHK.

6. PHK Besar-besaran

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengungkapkan jumlah korban PHK di tanah air sudah mengkhawatirkan.

Selain karena jumlahnya yang terus membengkak, kekhawatiran ini ia tegaskan menjadi makin buruk karena aktivitas industri di dalam negeri sudah redup, terutama di sektor pada karya.

Shinta mencatat, 257.471 pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan sudah berhenti dari kepesertaannya pada 2024 silam karena terkena PHK. Sedangkan sejak awal tahun hingga Maret 2025 ini, sudah ada sebanyak 73.992 peserta yang terkena PHK.

Sementara itu, Jumlah peserta yang mengajukan klaim JHT BPJS TK karena PHK pada 2024 telah mencapai 154.010 orang, dan berlanjut dari 1 Januari 2025 sampai periode Maret sebanyak 40.683 orang.

PHK massal memberikan dampak negatif yang luas terhadap ekonomi Indonesia. Lonjakan pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja menyebabkan daya beli masyarakat turun, yang kemudian menghambat konsumsi barang dan jasa. Hal ini berdampak pada berbagai sektor seperti ritel, manufaktur, dan jasa, mengurangi produktivitas serta investasi.

7. Angka Pengangguran Mengalami Kenaikan

Angka pengangguran Indonesia per Februari 2025 naik 0,08 juta orang menjadi 7,28 juta orang dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya meskipun secara presentase mengalami penurunan menjadi 4,76% per Februari 2025. Ini sejalan dengan banyaknya PHK belakangan waktu.

"Dibanding Februari 2024, per Februari 2025 jumlah orang yang menganggur meningkat sebanyak 0,08 juta orang atau 83 ribu orang yang naik kira-kira 1,11%," ungkap Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Senin (5/5/2025).

Pengangguran dalam jumlah besar memiliki dampak negatif yang luas bagi ekonomi Indonesia. Ketika banyak orang kehilangan pekerjaan, pendapatan masyarakat menurun, yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, meningkatnya jumlah pengangguran juga memicu lonjakan angka kemiskinan, karena semakin banyak keluarga yang kehilangan sumber pendapatan utama. Situasi ini berdampak pada sektor konsumsi, di mana daya beli masyarakat melemah sehingga bisnis dan industri mengalami penurunan pendapatan.

8. Kredit Perbankan Melambat

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan kredit industri perbankan tumbuh 8,88% secara tahunan menjadi Rp 7.960 triliun hingga April 2024.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan kredit bank BUMN pada empat bulan pertama tahun ini naik 8,82% yoy. "Berdasarkan kepemilikan, bank BUMN pendorong utama pertumbuhan kredit," kata Dian dalam Konferensi Pers Asesmen Sektor Jasa Keuangan dan Kebijakan OJK Hasil RDKB Mei 2025, Senin (2/6/2025).

Perlambatan kredit perbankan dapat memberikan dampak besar terhadap perekonomian Indonesia.

Ketika penyaluran kredit melambat, dunia usaha menghadapi kesulitan dalam memperoleh pendanaan untuk ekspansi, yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, konsumsi masyarakat juga bisa terdampak, karena akses terhadap kredit konsumsi seperti KPR dan kredit kendaraan menjadi lebih terbatas.

9. Laba Perbankan Menurun

Secara keseluruhan, empat bank besar di Indonesia (bank plat merah) mencatat total laba bersih Rp 57,28 triliun, dengan pertumbuhan yang relatif kecil, hanya 0,55% secara tahunan. Tren ini menunjukkan bahwa meskipun beberapa bank mengalami peningkatan laba, ada juga yang menghadapi tantangan dalam mempertahankan pertumbuhan.

Pertumbuhan laba bersih perbankan yang tipis dapat memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu efek utama adalah perlambatan ekspansi kredit, karena bank cenderung lebih berhati-hati dalam menyalurkan pinjaman ketika profitabilitas mereka tidak meningkat secara signifikan. Hal ini dapat menghambat investasi dan konsumsi, yang berujung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, penurunan pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) juga menjadi faktor yang mempengaruhi laba perbankan.

Misalnya, beberapa bank besar seperti BCA dan Mandiri mengalami perlambatan pendapatan bunga bersih pada kuartal pertama 2025, yang berdampak pada profitabilitas mereka. Jika tren ini berlanjut, bank mungkin akan menaikkan suku bunga kredit untuk menjaga margin keuntungan, yang bisa membebani dunia usaha dan masyarakat.

Dari sisi investor, pertumbuhan laba yang tipis dapat mengurangi minat investasi di sektor perbankan, karena prospek keuntungan yang lebih rendah. Hal ini bisa berdampak pada harga saham bank di pasar modal dan mengurangi arus modal ke sektor keuangan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |