Jakarta, CNBC Indonesia - China terus menggenjot konsumsi domestik sebagai strategi utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman deflasi. Pemerintah baru saja mengumumkan peningkatan subsidi program tukar tambah barang konsumsi menjadi 300 miliar yuan atau sekitar Rp675 triliun pada tahun 2025, dua kali lipat dari anggaran tahun sebelumnya yang hanya mencapai 150 miliar yuan atau sekitar Rp337,5 triliun.
Langkah ini dianggap sebagai upaya serius untuk meningkatkan belanja konsumen, terutama pada produk tertentu seperti smartphone kelas menengah dan peralatan rumah tangga. Subsidi yang diberikan berkisar antara 15% hingga 20% dari harga pembelian produk yang memenuhi syarat.
Namun, kebijakan ini tetap menghindari pemberian bantuan tunai langsung kepada masyarakat, berbeda dengan model yang diterapkan di negara-negara seperti Amerika Serikat.
Menurut Jacob Cooke, CEO WPIC Marketing + Technologies, subsidi yang lebih besar ini diperkirakan akan berdampak positif terhadap penjualan ritel, serupa dengan kenaikan penjualan e-commerce yang terjadi pada akhir tahun lalu.
"Subsidi kali ini cukup substansial dan kemungkinan besar akan mendorong pertumbuhan penjualan ritel," ujar Cooke kepada CNBC, dilansir Selasa (11/3/2025).
Meskipun banyak pihak skeptis terhadap dampak jangka panjang dari subsidi satu kali ini, Cooke meyakini bahwa kebijakan serupa akan terus berlanjut. Hal ini sejalan dengan target ambisius pertumbuhan ekonomi China sebesar 5% yang diumumkan oleh Perdana Menteri Li Qiang dalam laporan kerja tahunan pemerintah minggu lalu.
Laporan tersebut bahkan menempatkan konsumsi sebagai prioritas utama pemerintah, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam satu dekade terakhir.
Laura Wang, kepala strategi ekuitas China di Morgan Stanley, mengungkapkan bahwa dalam laporan kerja pemerintah, kata "konsumsi" disebutkan sebanyak 27 kali-jumlah tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Ini menandakan bahwa Beijing semakin menyadari pentingnya permintaan domestik di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Tekanan Deflasi dan Tantangan Ekonomi
Meskipun langkah-langkah subsidi ini menjanjikan, tantangan ekonomi tetap ada. Data resmi menunjukkan bahwa China mengalami deflasi Februari 2024, pertama kalinya dalam lebih dari satu tahun. Hal ini menjadi indikator bahwa permintaan domestik masih lemah.
Shen Danyang, kepala kelompok penyusun Laporan Kerja Pemerintah, menegaskan bahwa China harus lebih fokus pada permintaan dalam negeri, terutama karena potensi "guncangan baru" terhadap permintaan global.
Senada dengan itu, Chen Changsheng, wakil direktur Kantor Penelitian Dewan Negara, menyebutkan bahwa pemerintah telah menetapkan empat langkah utama untuk mengatasi tekanan harga yang rendah: memperluas dukungan fiskal, meningkatkan konsumsi, mengatur persaingan harga agar tidak berujung pada perang harga yang merugikan, serta menstabilkan harga properti.
Adapun pasar properti menjadi elemen kunci dalam kebijakan ini, mengingat real estate merupakan aset utama bagi sebagian besar rumah tangga di China. Kebijakan pengetatan di sektor properti sejak 2020 menyebabkan penurunan pasar yang baru mulai pulih setelah adanya intervensi kebijakan pada September tahun lalu.
Meng Lei, analis strategi ekuitas China di UBS Securities, menilai bahwa stabilisasi pasar properti dapat memberikan dampak besar terhadap peningkatan konsumsi, serupa dengan efek kekayaan yang dihasilkan oleh kenaikan pasar saham.
"Ekspektasi bahwa pasar saham A-share di China daratan makin strategis juga membantu meningkatkan optimisme," jelasnya.
Kebijakan Fiskal dan Dukungan Pemerintah
Subsidi sebesar 300 miliar yuan ini berasal dari peningkatan obligasi pemerintah khusus berjangka panjang untuk tahun 2025. Beijing juga mengumumkan peningkatan defisit fiskal menjadi 4%, menegaskan bahwa kebijakan fiskal akan tetap bersifat proaktif.
Di sisi lain, kebijakan ini juga mencerminkan perubahan pendekatan pemerintah yang lebih ramah terhadap dunia usaha.
Presiden Xi Jinping bahkan menggelar pertemuan langka dengan para pengusaha bulan lalu. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan bisnis, mendorong perekrutan tenaga kerja, serta meningkatkan pendapatan masyarakat.
Sebuah rencana implementasi yang dirilis oleh Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC) mengungkapkan bahwa peningkatan konsumsi akan difokuskan pada sektor-sektor tertentu. Prioritas utama pemerintah adalah meningkatkan penjualan barang dengan nilai tinggi seperti kendaraan listrik dan properti.
Pemerintah juga berupaya mengembangkan "ekonomi pengalaman" yang menggabungkan film, permainan video, pariwisata, dan budaya tradisional China. Ini mirip dengan lonjakan wisatawan ke situs bersejarah yang terkait dengan gim populer "Black Myth: Wukong" tahun lalu.
Selain itu, pemerintah akan meningkatkan mekanisme kenaikan gaji secara reguler serta memperbaiki sistem cuti berbayar. Saat ini, pekerja di China rata-rata hanya mendapatkan kurang dari 10 hari cuti berbayar per tahun, dengan beberapa hari libur nasional yang harus diganti dengan kerja di akhir pekan.
Dampak Subsidi
Peningkatan subsidi tampaknya sudah mulai menunjukkan hasil. Data awal menunjukkan lonjakan penjualan ritel dari program subsidi 81 miliar yuan yang diumumkan pada Januari 2024, menjelang pertemuan parlemen bulan ini.
Penjualan kendaraan listrik meningkat hampir 80% menjadi 686.000 unit pada Februari dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menurut data asosiasi industri otomotif China. Sementara itu, penjualan smartphone juga melonjak hampir 65% dalam pekan 20-26 Januari, mencapai lebih dari 9,5 juta unit, menurut laporan Counterpoint Research.
Analis percaya bahwa subsidi ini mendorong konsumen untuk mengganti ponsel lebih cepat dari yang direncanakan, terutama dengan meningkatnya fitur kecerdasan buatan (AI) pada perangkat terbaru. Diperkirakan subsidi ini akan memberikan tambahan pertumbuhan dua hingga tiga poin persentase dalam penjualan ponsel pintar Tiongkok pada kuartal pertama tahun ini.
Ke depan, Beijing berencana merilis kebijakan yang lebih rinci untuk terus mendorong konsumsi dalam negeri. Zheng Shanjie, kepala NDRC, menegaskan bahwa strategi ini bertujuan untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tanpa harus kembali bergantung pada investasi infrastruktur yang masif seperti sebelumnya.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Ekonomi China Kian Merana
Next Article Video: PDB China 4,6%, Terendah Terakhir Selama 1,5 Tahun