Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi global saat ini menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan beberapa hal yang menjadi kekhawatirannya.
Sri Mulyani menilai kondisi yang terjadi saat ini akibat ulah kepemimpinan Trump 2.0 adalah bentuk mulainya peperangan di bidang ekonomi, atau yang ia sebut war game.
"Ini yang disebut war game di bidang ekonomi," kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN di kantornya, Jakarta, Kamis (13/3/2025).
"Trade yang tadinya berdasarkan rule base sekarang secara sepihak dapat diubah dan Presiden Trump mengincar negara yang memiliki surplus terhadap AS," paparnya.
Berikut ini beberapa kengerian yang menjadi tantangan bagi dunia dan Indonesia.
1. Tarif Perdagangan AS
Sri Mulyani mengatakan, kebijakan Trump yang mendasari pengenaan tarif perdagangan tambahan untuk barang-barang ekspor dari negara partnernya ialah negara-negara yang mengalami surplus perdagangan dengan AS.
Maka, China menjadi target utama Trump karena surplus perdagangannya mencapai US$ 319,1 miliar pada 2024, lalu Meksiko US$ 175,9 miliar, dan Vietnam US$ 129,4 miliar.
Indonesia pun menurutnya masuk ke dalam kategori yang bisa dikenakan tarif tambahan oleh Trump, karena surplus perdagangan Indonesia ke AS urutan ke-15, yakni senilai US$ 19,3 miliar.
Namun demikian, berdasarkan data census.gov untuk periode Januari 2025, Indonesia tidak masih ke dalam 15 negara yang mengalami surplus perdagangan dengan AS yakni sebesar US$1,815 juta.
2. Penerimaan Pajak Anjlok 30%
Pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun. Khusus pajak, realisasinya sebesar Rp187,8 triliun.
"Penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6% dari target," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers, Kamis (13/3/2025).
Pendapatan negara hingga Februari terkontraksi hingga 21,48%. Kontraksi ini jauh lebih besar dibandingkan tahun lau yang hanya 4,52%.
Kontraksi terbesar ada di penerimaan pajak. Data Kemenkeu menunjukkan penerimaan pajak hingga Februari 2025 terkontraksi 30%. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan tahun lalu yang hanya terkontraksi 3,93%.
3. Hubungan Pertemanan Antar Negara yang Retak
Sri Mulyani memaparkan fenomena baru di tatanan global yang muncul setelah era Trump 2.0. Fenomena ini mengacu pada banyaknya hubungan pertemanan antar negara yang retak. Contohnya, hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Kanada, serta Amerika Serikat dan Meksiko.
Hubungan ini retak setelah Presiden Donald Trump meluncurkan perang dagang yang lebih intensif di masa kepemimpinan periode keduanya. Kebijakan Trump ini menandai perubahan besar dalam ekonomi, perdagangan dan rantai pasok dunia. Hal ini tak bisa dihindari karena AS merupakan salah satu ekonomi terbesar dunia.
"Keputusan investasi relokasi rekonfigurasi dari rantai pasok selama ini yang dianggap aman yang friendshoring sudah tidak ada lagi sekarang definisi friends sudah tidak ada lagi," ungkapnya dalam konferensi pers APBN KITA, Kamis (13/3/2025).
Untuk diketahui, friendshoring adalah strategi dalam perdagangan dan rantai pasokan di mana suatu negara atau perusahaan hanya melakukan bisnis dengan negara-negara sahabat atau sekutu yang dianggap memiliki nilai politik, ekonomi, atau keamanan yang sejalan.
AS yang selama ini menjadi promotor perdagangan bebas antara Kanada, Meksiko dan Amerika berbelok setelah kepimpinan Trump. Hubungan investasi dan perdagangan kini berjalan unilateral.
4. Defisit APBN Rp31,2 T
Realisasi APBN hingga akhir Februari 2025 tercatat defisit Rp31,2 triliun atau 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit per Februari ini adalah yang pertama dalam empat tahun terakhir.
Defisit APBN per Februari tahun ini berbanding terbalik dengan tiga tahun sebelumnya di mana pada periode tersebut masih mencatat surplus.
Defisit ini menunjukkan besarnya ketergantungan Indonesia terhadap harga komoditas.
Sebagai catatan, Indonesia mendapatkan berkah lonjakan harga komoditas sejak 2022 atau setelah meletusnya perang Rusia-Ukraina.
5. Tatanan Ekonomi Dunia Alami Perubahan
Sri Mulyani mengemukakan bahwa tatanan ekonomi dunia saat ini telah berubah. Kondisi ini disebut sebagai The New Economic Order.
Tatanan baru ekonomi ini merupakan tatanan ekonomi global yang tidak lagi mengikuti pakem ekonomi 50 tahun atau 60 tahun lalu. Dahulu, globalisasi dan global rule base menjadi sandaran.
Ini menjadi fondasi dalam interaksi antar negara setelah Perang Dunia Kedua. Saat itu, semua negara sepakat bikin rule order dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Badan Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia. Tatanan ini berubah sejak Donald Trump memimpin pemerintahan AS untuk periode kedua.
"Semenjak munculnya Trump 2.0 unilateralism atau aksi sepihak dari satu negara yang merupakan negara terbesar di dunia jadi dominan, jadi the rule of the game ya tadinya multilateral jadi unilateral," kata Sri.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)