Jakarta, CNBC Indonesia — Tahun 2025 menjadi babak baru dalam sejarah pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah meluncurkan reformasi besar-besaran pada tata kelola BUMN.
Pembenahan yang cukup nyaring sepanjang 2025 adalah penghentian pemberian tantiem untuk para komisaris perusahaan pelat merah. Presiden Prabowo mengkritik keras pada pemberian tantiem jabatan tinggi BUMN yang dianggap tidak masuk akal.
"Saudara-saudara masa ada komisaris yang rapat sebulan sekali, tantiemnya Rp 40 miliar setahun," kata Prabowo dalam pidato Nota KeuanganRAPBN 2026 di DPR, di DPR, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Tantiem sendiri merupakan bonus tahunan berbasis laba bersih perusahaan, yang selama ini diberikan kepada direksi dan dewan komisaris. Landasan hukumnya tertuang dalam Peraturan Menteri BUMN sejak 2014, yang bahkan memungkinkan pembagian bonus meski perusahaan masih merugi, selama kerugian lebih kecil dari tahun sebelumnya.
Klausul inilah yang kemudian dinilai membuka ruang pemborosan dan manipulasi laporan keuangan.
Dalam regulasi, gaji direktur utama menjadi patokan untuk menentukan besaran tantiem bagi pejabat lainnya. Wakil direktur utama menerima 95% dari gaji direktur utama, sedangkan direktur lain 85%. Komisaris utama berhak memperoleh 45%, wakil komisaris utama 42,5%, dan anggota dewan komisaris menerima 90% dari yang diperoleh komisaris utama.
Penetapan nilai ini juga mempertimbangkan key performance indicator (KPI), kondisi keuangan perusahaan, serta perbandingan dengan praktik di perusahaan sejenis.
Prabowo menganggap, sistem tantiem selama ini tidak adil dan menimbulkan pemborosan besar. Oleh karena itu, pemerintah akan menghapus skema tersebut demi efisiensi dan transparansi. Kebijakan ini diperkirakan mampu menghemat hingga Rp 18 triliun per tahun.
Menurut Prabowo, keuntungan BUMN seharusnya dialokasikan untuk menambah modal kerja, membayar dividen kepada negara, dan membiayai proyek strategis yang bermanfaat langsung bagi masyarakat.
Prabowo juga telah memberikan perintah kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) untuk mengawasi pemberian tantiem kepada direksi. Prabowo pun memperingatkan apabila ada direksi dan komisaris yang keberatan dengan kebijakan baru tersebut, dipersilakan untuk berhenti.
"Dan kalau direksi itu kalau komisaris itu keberatan segera berhenti saudara-saudara sekalian," katanya.
Selain itu, Presiden Prabowo juga menyotori soal jumlah komisaris di perusahaan pelat merah. Menurutnya ada beberapa BUMN yang merugi, tetapi memiliki komisaris yang terbilang banyak.
"Perusahaan rugi komisaris banyak banget. Saya potong setengah, komisaris paling banyak 6 orang kalau bisa empat atau 5," kata Prabowo.
Menindaklanjuti arahan Presiden, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) langsung mengambil langkah lanjutan. Melalui Surat S-063/DI-BP/VII/2025, Danantara secara resmi melarang seluruh dewan komisaris BUMN dan anak usaha menerima tantiem, insentif kinerja, insentif khusus, maupun insentif jangka panjang.
Chief Executive Officer BPI Danantara, Rosan Roeslani, membenarkan, kebijakan penghapusan tantiem hingga pemotongan insentif bagi komisaris BUMN, dapat memberikan penghematan ke perusahaan pelat merah.
Penghapusan tantiem dan pemangkasan jumlah komisaris, BUMN berpotensi menghemat hingga US$ 500 juta atau sekitar Rp 8 triliun–Rp 8,3 triliun per tahun.
Dengan sekitar 1.000 BUMN dan anak usaha, yang sebelumnya bisa memiliki belasan komisaris per perusahaan, pemangkasan ini dinilai sebagai langkah efisiensi struktural yang signifikan.
Larangan tersebut dalam rangka menerapkan standar tata kelola perusahaan yang baik dan berlaku di level nasional maupun internasional untuk menjaga kepentingan BUMN dan semua pemangkuan kepentingan.
Danantara menetapkan bahwa anggota direksi BUMN dan anak usaha BUMN masih akan mendapatkan tantiem, insentif dan/atau penghasilan dalam bentuk lain yang dikaitkan dengan kinerja perusahaan. Akan tetapi harus didasarkan pada laporan keuangan yang sebenar-benarnya dari hasil operasi perusahaan.
Selain itu juga harus merefleksikan kegiatan usaha yang berkelanjutan (sustainable), serta bukan merupakan hasil aktivitas semu pencatatan akuntansi atau laporan keuangan seperti namun tidak terbatas pada pengakuan pendapatan sebelum waktunya dan atau tidak mencatatkan beban untuk memperbesar laba perusahaan (financial statement fraud/manipulation).
"Untuk anggota dewan komisaris BUMN dan anak usaha BUMN, tidak diperkenankan mendapatkan tantiem, insentif (baik dalam bentuk insentif kinerja, insentif khusus, dan/atau insentif jangka panjang) dan/atau penghasilan dalam bentuk lainnya yang dikaitkan dengan kinerja perusahaan," tulis aturan tersebut.
Rosan mengungkapkan, struktur baru ini mengadopsi praktik terbaik global yang menetapkan sistem pendapatan tetap dan tidak mengenal kompensasi variabel berbasis laba untuk posisi komisaris.
Prinsip serupa juga tercantum dalam OECD Guidelines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises, yang menekankan pentingnya pendapatan tetap untuk menjaga independensi pengawasan.
"Kebijakan ini merupakan bagian dari agenda reformasi struktural BPI Danantara yang lebih besar dalam membangun tata kelola investasi dan BUMN berbasis transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas publik. Penyesuaian tantiem juga dirancang sebagai fondasi untuk meninjau ulang keseluruhan sistem remunerasi di BUMN," jelasnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun angkat bicara mengenai penurunan tantiem pengurus bank, sebagai imbas kebijakan BPI Danantara menghapus tantiem komisaris BUMN.
Picu Kontroversi
Kebijakan penghapusan tantiem komisaris BUMN menuai kritik dari Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi Denny Januar Ali yang menyampaikan pandangan terbuka lewat tulisan berjudul "Yang Benar dan Yang Keliru dalam Keputusan Kontroversial Danantara".
Dalam surat itu, Denny menilai larangan tersebut mengabaikan realitas struktur dan beban kerja komisaris di BUMN Indonesia. Ia menyebut kebijakan itu keliru konteks karena memaksakan standar internasional yang tidak selaras dengan sistem tata kelola korporasi domestik yang menganut two tier board.
Kebijakan tersebut, menurutnya secara prinsip benar dalam konteks negara-negara yang menganut sistem one tier board, seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Dalam model itu, non-executive directors sering kali hadir hanya sebagai pelengkap struktur, tanpa terlibat aktif dalam dinamika strategis. Pemberian tantiem kepada mereka dianggap menimbulkan konflik kepentingan.
"Namun, kebenaran ini tidak serta-merta valid bila diterapkan ke konteks Indonesia, yang secara yuridis dan kelembagaan menganut sistem two tier board. Dan inilah akar perbedaan penting itu," katanya.
Denny menjelaskan one tier board lazim di Amerika dan Inggris. Fungsi eksekutif dan pengawasan menyatu dalam satu dewan di sistem tersebut. Kompensasi berbasis laba diberikan hanya kepada executive directors, sedangkan non-executive directors umumnya menerima honorarium tetap.
Two tier board, seperti yang diterapkan di Jerman, Belanda, dan secara formal di BUMN Indonesia, memisahkan secara struktural peran direksi (eksekutif) yang menjalankan fungsi operasional perusahaan.
Lalu dewan komisaris (pengawas) bertugas mengawasi, memberi nasihat strategis, serta memastikan integritas tata kelola. Oleh karena itu, komisaris BUMN di Indonesia tidak pasif.
Para komisaris terlibat dalam komite audit, risiko, dan investasi, menentukan arah transformasi digital, ESG, dan pengendalian internal, serta memikul risiko hukum dan reputasi yang sama seperti direksi.
Big Stories merupakan kumpulan berita lama dari CNBC Indonesia yang telah dipublikasikan sebelumnya dan disajikan kembali karena menjadi berita terpopuler dan paling banyak diminati sepanjang tahun 2025. Informasi yang dimuat tidak selalu mencerminkan kondisi atau perkembangan terbaru. Pembaca disarankan untuk meninjau tanggal publikasi dan mencari referensi tambahan untuk mendapatkan informasi terkini(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]

3 hours ago
3

















































