Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Ketika Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyatakan bahwa beban Jakarta belum berkurang meski pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) terus berjalan, pernyataan itu secara langsung menegur kebijakan publik pemerintah pusat.
Kita bisa meminjam kacamata berlensa tunggal milik Fritz Lang ketika ia membuat film Metropolis yang kemudian dirilis pada tahun 1927. Dalam film tersebut, kota Metropolis digambarkan sebagai kota yang tampak megah, modern, dan tertata, tetapi kehilangan keseimbangan karena kehidupan manusianya terpisah dari pusat kekuasaan. Ada wujud fisiknya, namun tidak benar-benar hidup seperti IKN sekarang.
Pembangunan kota memang bisa dikejar lewat beton, jalan, dan gedung. Namun memindahkan kehidupan jauh lebih rumit. Selama aktivitas utama negara seperti rapat penting, pengambilan keputusan, dan koordinasi antarinstansi masih berlangsung di Jakarta, beban kota ini tidak akan otomatis berkurang. IKN berisiko menjadi kota simbolik: hadir secara administratif, tetapi belum menjadi pusat kehidupan pemerintahan.
Di Australia, pemindahan ibu kota dari Melbourne ke Canberra pada tahun 1927 dilakukan agar beban politik tidak lagi menumpuk di Melbourne. Hal yang sama dilakukan oleh Brasil, pemindahan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasília pada tahun 1960 dilakukan dengan langkah yang tegas.
Presiden, parlemen, dan kementerian benar-benar bekerja di kota baru. Beban politik Rio pun berkurang. Namun, Brasília berkembang sebagai kota yang sangat bergantung pada birokrasi dengan kehidupan sosial yang relatif terbatas.
Pada tahun 1999, administrasi pemerintahan pusat di Malaysia dipindahkan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Pada saat itu, Putrajaya adalah kota yang relatif dekat dan mudah dijangkau dari Kuala Lumpur. Akibatnya, Kuala Lumpur terus berkembang, karena para pejabat dapat beroperasi di Putrajaya tanpa sepenuhnya meninggalkan kegiatan sosial dan ekonomi mereka di Kuala Lumpur.
Tema umum di antara ketiga contoh ini adalah bahwa pemindahan ibu kota hanya akan berhasil jika administrasi pemerintahan pusat benar-benar dipindahkan, akses mudah, dan fungsi kota sebelumnya didefinisikan dengan jelas. Di sinilah terdapat tiga tantangan utama bagi IKN saat ini.
Pertama, yang perlu dipindahkan adalah interaksi, bukan hanya kantor. Pemikir kota Jane Jacobs dalam bukunya yang berjudul The Death and Life of Great American Cities menekankan bahwa kota hidup karena interaksi sehari-hari. Kota menjadi hidup ketika orang bertemu, berdiskusi, dan membangun jejaring.
Dalam konteks IKN, persoalannya bukan sekadar apakah gedung-gedung kementerian sudah berdiri, tetapi apakah kehidupan kerja para pengambil keputusan benar-benar berpindah. Selama rapat penting, koordinasi antar instansi, dan komunikasi informal masih lebih sering berlangsung di Jakarta, pusat kehidupan tetap berada di sana. Oleh karena itu, bahkan dengan relokasi administratif ibu kota, masih sulit untuk meringankan beban Jakarta.
Kedua, kebijakan terkait relokasi ibu kota harus dilaksanakan secara menyeluruh dan dapat diandalkan. Para ahli kebijakan publik seperti Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky menunjukkan bahwa banyak kebijakan gagal bukan karena konsep awal yang salah, tetapi karena pelaksanaannya terganggu di tengah jalan.
Seiring kebijakan menjadi lebih rumit dan melibatkan lebih banyak peserta, kesenjangan antara tujuan dan hasil cenderung melebar. Pemindahan ibu kota termasuk kebijakan dengan tingkat kompleksitas sangat tinggi. Ia melibatkan banyak kementerian, aturan, anggaran, serta perubahan pola kerja. Jika setiap lembaga bergerak dengan ritmenya masing-masing, tujuan mengurangi beban Jakarta akan sulit tercapai. Gedung boleh berdiri megah, tetapi fungsi belum tentu ikut berpindah.
Ketiga, IKN harus berkembang menjadi kota "hidup" yang dinamis, bukan sekadar ruang kerja. Penulis Italo Calvino dalam Invisible Cities mengingatkan bahwa kota bukan hanya kumpulan bangunan, melainkan jaringan makna, pengalaman, dan ingatan. Kota hidup karena penghuninya merasa terhubung dan memiliki alasan untuk tinggal. IKN akan sulit berkembang jika hanya dipandang sebagai lokasi penugasan sementara.
Kota membutuhkan kehidupan sehari-hari: ruang publik, aktivitas sosial, ritme harian, dan rasa memiliki. Tanpa itu, kota akan terasa kosong meski infrastrukturnya modern. Sebuah kota tidak hidup karena lampunya menyala, melainkan karena manusianya betah.
Oleh karena itu, kekhawatiran Pramono Anung harus diartikan sebagai pengingat bahwa memindahkan ibu kota adalah upaya sosial yang panjang, bukan sekadar proyek konstruksi yang berakhir saat pita diresmikan. IKN seharusnya tidak hanya dipandang sebagai keberhasilan teknokratis semata, bukan hanya serangkaian bangunan beton.
Mengutip pelajaran dari film Metropolis, sebuah kota membutuhkan "hati" untuk menghubungkan tangan (pembangunan) dan kepala (kebijakan) secara harmonis dengan kehidupan manusia. Jika tidak ada komitmen nyata untuk mengembangkan pusat kota yang dinamis, IKN berisiko hanya menjadi kompleks perkantoran mewah yang terbengkalai.
Jika ini terjadi, tujuan untuk menyelesaikan masalah Jakarta akan terhambat, dan kota ini akan terjebak dalam tantangan lama yang terjadi terus-menerus.
(miq/miq)

3 hours ago
3

















































