Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Industri fiber optik Indonesia memasuki fase konsolidasi besar. Rencana merger antara PT Mora Telematika Indonesia Tbk. (Moratelindo) dan MyRepublic Indonesia, bersamaan dengan kehadiran pemain infrastruktur seperti Infranexia-entitas fiber optik di bawah Telkom Group-serta pembentukan FiberCo sebagai perusahaan patungan Indosat Ooredoo Hutchison dan Arsari Group, menandai perubahan signifikan peta bisnis telekomunikasi nasional.
Setelah bertahun-tahun berlomba membangun jaringan, industri kini menghadapi realitas baru. Pertumbuhan pelanggan di kota-kota besar mulai melambat, sementara kebutuhan terhadap konektivitas berkecepatan tinggi terus meningkat.
Di sisi lain, belanja modal (capital expenditure/CAPEX) jaringan fiber tetap tinggi. Dalam konteks ini, konsolidasi menjadi strategi bisnis yang rasional. Namun, arah dan dampak konsolidasi tersebut sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah.
Merger Moratelindo dan MyRepublic mempertemukan dua kekuatan berbeda. Moratelindo dikenal sebagai pemain infrastruktur dengan jaringan backbone dan metro fiber berskala nasional, sementara MyRepublic memiliki basis pelanggan ritel dan jaringan last-mile fiber to the home (FTTH) yang kuat.
Berdasarkan estimasi industri, kombinasi jaringan keduanya berpotensi menjangkau lebih dari 4 juta hingga 5 juta homepass di berbagai kota besar dan menengah. Potensi pasar fixed broadband Indonesia masih besar, dengan tingkat penetrasi yang diperkirakan baru mencapai 20%-25% dari lebih dari 70 juta rumah tangga.
Namun, mengejar peluang tersebut membutuhkan investasi besar. Biaya pembangunan jaringan FTTH di kawasan urban diperkirakan berada di kisaran Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per homepass, sehingga penambahan satu juta homepass baru dapat membutuhkan Rp 3 triliun hingga Rp 5 triliun CAPEX. Di sinilah peran negara menjadi krusial, terutama dalam menciptakan iklim investasi yang efisien dan berkelanjutan.
Dari sisi pendapatan, ARPU layanan fixed broadband di Indonesia saat ini berada di kisaran Rp 300 ribu-Rp 400 ribu per bulan. Dengan margin yang relatif terbatas, efisiensi biaya menjadi kunci. Kebijakan pemerintah terkait berbagi infrastruktur, penataan jaringan, dan harmonisasi perizinan secara langsung memengaruhi kemampuan operator menjaga harga tetap terjangkau bagi masyarakat.
Kehadiran Infranexia sebagai bagian dari Telkom Group dan FiberCo Indosat-Arsari Group mencerminkan pergeseran model bisnis menuju pemisahan antara penyedia infrastruktur dan penyedia layanan (NetCo-ServCo). Model ini membuka peluang efisiensi dan kompetisi yang lebih sehat. Namun, tanpa regulasi yang tegas dan konsisten dari pemerintah, skema open access dan wholesale berisiko berjalan setengah hati atau bahkan menimbulkan distorsi pasar.
Dari perspektif publik, konsolidasi industri fiber optik hanya akan bermakna jika diikuti oleh peningkatan akses dan kualitas layanan. Pemerintah memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa konsolidasi tidak hanya memperkuat pelaku usaha besar, tetapi juga mempercepat pemerataan akses digital. Harmonisasi kebijakan right of way, penurunan biaya non-teknis, serta insentif pembangunan jaringan di wilayah non-komersial menjadi faktor penentu.
Lebih jauh, infrastruktur fiber optik harus dipandang sebagai bagian dari kepentingan nasional. Konektivitas berkecepatan tinggi merupakan prasyarat layanan publik digital, pendidikan jarak jauh, kesehatan berbasis teknologi, dan pengembangan UMKM. Tanpa keberpihakan kebijakan yang jelas, kesenjangan digital berpotensi semakin melebar, meski jaringan di kota besar semakin padat.
Dalam konteks ini, konsolidasi Moratelindo-MyRepublic, kehadiran Infranexia Telkom Group, dan FiberCo Indosat-Arsari menjadi ujian bagi peran negara. Apakah pemerintah mampu menjadikan konsolidasi sebagai alat kebijakan untuk memperluas akses dan menurunkan biaya, atau justru membiarkan dinamika pasar berjalan tanpa arah yang jelas.
Gelombang konsolidasi ini menandai fase pendewasaan industri fiber optik Indonesia. Namun, keberhasilannya tidak hanya diukur dari efisiensi bisnis atau nilai investasi, melainkan dari sejauh mana kebijakan pemerintah mampu memastikan manfaatnya dirasakan langsung oleh rakyat. Arah industri ke depan akan sangat ditentukan oleh keberanian negara dalam menata infrastruktur digital sebagai kepentingan publik jangka panjang, bukan sekadar arena kompetisi korporasi.
(miq/miq)

2 hours ago
1
















































