Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia kembali bergerak melemah pada perdagangan Rabu (31/12/2025) pukul 09.40 WIB, menandai penutupan tahun yang berat bagi pasar energi global.
Melansir Refinitiv minyak Brent berada di US$61,29 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) di US$57,92 per barel. Posisi ini menempatkan kedua kontrak utama tersebut masih berada dekat level terendahnya dalam beberapa bulan terakhir.
Sepanjang 2025, harga minyak sudah bergerak dalam tren menurun yang konsisten, seiring pasar semakin yakin bahwa dunia akan memasuki fase kelebihan pasokan pada 2026. WTI kini berada di jalur penurunan bulanan kelima berturut-turut, dengan koreksi hampir 20% sepanjang tahun, sebuah kinerja terburuk sejak guncangan pandemi 2020.
Jika dilihat dari pergerakan harian Brent yang pada 23 Desember masih berada di US$62,38, kini sudah turun lebih dari satu dolar. Sementara WTI dari US$58,38 di periode yang sama, kini tertekan ke bawah US$58, mengindikasikan pelemahan yang semakin mengakar menjelang pergantian tahun.
Lonjakan produksi dari OPEC+ dan para pesaingnya terjadi di saat pertumbuhan permintaan global justru melambat. Lembaga-lembaga pemantau energi utama, termasuk Badan Energi Internasional (IEA), memproyeksikan surplus pasokan besar pada 2026. Bahkan sekretariat OPEC, yang biasanya lebih optimistis, juga memperkirakan kelebihan pasokan meski dalam skala lebih moderat.
Kekhawatiran ini membuat setiap data pasokan menjadi pemicu volatilitas. American Petroleum Institute (API) melaporkan bahwa stok minyak mentah AS naik 1,7 juta barel pekan lalu. Jika dikonfirmasi oleh data resmi pemerintah, ini akan menjadi kenaikan terbesar sejak pertengahan November, sekaligus memperkuat sinyal bahwa pasar tengah dibanjiri minyak.
Di tengah tekanan fundamental tersebut, pasar juga bersiap menghadapi momen krusial. OPEC+ dijadwalkan menggelar pertemuan pada 4 Januari 2026. Menurut keterangan tiga delegasi, kelompok produsen ini diperkirakan akan mempertahankan rencana penundaan kenaikan pasokan, sebuah langkah defensif untuk menahan laju kejatuhan harga di tengah bukti kuat bahwa pasar sedang kelebihan suplai.
Namun faktor geopolitik belum sepenuhnya menghilang dari radar. Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan akan menarik pasukannya dari Yaman, di tengah meningkatnya ketegangan dengan Arab Saudi. Keduanya merupakan anggota kunci OPEC, sehingga setiap dinamika politik di kawasan Teluk tetap berpotensi memengaruhi stabilitas pasokan jangka pendek.
Sementara itu, di belahan dunia lain, para pedagang juga memantau blokade parsial Amerika Serikat terhadap pengiriman minyak Venezuela. Presiden Donald Trump mengklaim adanya operasi rahasia terhadap fasilitas yang disebutnya terkait perdagangan narkoba, memunculkan spekulasi baru tentang sejauh mana Washington akan menekan rezim Nicolas Maduro.
Meski demikian, pasar menilai gangguan geopolitik tersebut belum cukup kuat untuk menutupi besarnya surplus global. Itulah sebabnya, meski ada ketegangan di Timur Tengah dan Amerika Latin, harga minyak tetap sulit keluar dari tekanan.
CNBC Indonesia
(emb/emb)
[Gambas:Video CNBC]

2 hours ago
2
















































