IHSG Labil Kaya Anak ABG, Begini Proyeksinya ke Depan!

3 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) perlu diakui masih bergerak dalam tren turun dengan tingkat volatilitas cukup tinggi.

Sampai pada perdagangan Kamis hari ini (13/3/2025) pukul 11.06 WIB, IHSG terkontrasi 0,14% ke posisi 6.655,89. Meski tertekan hari ini, indeks bursa saham kita masih bisa menjaga pergerakan mingguan di zona positif 0,62%.

Secara teknikal, gerak IHSG yang menguat dalam sepekan ini masih menguji posisi resistance yang bertepatan dengan garis rata-rata selama 20 hari (MA20) atau sekitar level 6700 yang juga berdekatan dengan low body candle 19 Juni 2024.

Jika resistance tak mampu ditembus atau koreksi masih berlanjut hari ini, maka tren IHSG akan ada potensi bergerak sideways dengan support yang menahan laju penurunan di level 6200 yang didapatkan dari low body candle 3 Maret 2025.

IHSGFoto: Tradingview
IHSG

Lantas sebenarnya apa yang membuat IHSG bergerak labil akhir-akhir ini? Kami mencermati, ada beberapa faktor yang membuat bursa saham kita sangat volatile, baik dari eksternal maupun internal, termasuk salah satu saham yang bergerak anomali.

1. Kekhawatiran Ekonomi AS Goyang Gara-gara Trump

Dari eksternal kita melihat ada efek ketidakpastian yang terjadi karena efek tarif Trump.

Baru mau dua bulan, Donald Trump memimpin negeri Paman Sam, sudah banyak ulah yang dilakukan, terutama soal tarif seperti pemberlakuan tarif timbal balik, tambahan tarif ke China sebesar 20%.

Lalu, tarif impor 25% untuk barang dari Kanada dan Meksiko yang sempat ditunda pada Februari, kemudian berlaku pada Maret, tapi tak sampai sehari sudah dibatalkan.

Dan paling baru, ada pemberlakuan tarif 50% untuk impor baja dan alumunium dari Kanada. Hal tersebut tentu memicu balasan dari negara yang dikenakan tarif tinggi oleh AS yang menandai perang dagang dimulai lagi.

Hal tersebut membuat pasar khawatir harga-harga akan naik dan menyeret inflasi makin mengetat. Meski begitu, data terbaru dari inflasi AS terpantau mendingin karena harga minyak yang turun akhir-akhir ini.

AS tercatat mengalami inflasi 2,8% yoy pada Februari 2025, lebih baik dari perkiraan pasar sebesar 2,9%.

Hasil itu membuka dua persepsi bagi kondisi ekonomi AS, pertama menegaskan kekhawatiran terhadap kemungkinan resesi ekonomi karena melemahnya daya beli akibat suku bunga tinggi dan mengeringnya likuiditas.

Kedua, persepsi akan data inflasi itu sendiri yang menjadi harapan a the Fed "terpaksa" menurunkan suku bunga untuk menghindari resesi ekonomi dan memperbaiki daya beli.

Meski begitu, sejauh ini kami lihat pasar tenaga kerja relatif stabil dengan pembukaan lowongan kerja lebih tinggi dari perkiraan. Hal ini semakin mengkonfirmasi inline dengan sikap the Fed yang hati-hati dalam kebijakan moneternya.

Walaupun, hal itu belum memasukkan dari efek efisiensi yang selama ini dilakukan oleh DOGE, departemen efisiensi yang dipimpin Elon Musk.

Pantauan CNBC Indonesia sampai 11 Maret 2025, DOGE sudah berhasil menghemat US$ 115 miliar, setara lebih dari Rp1,8 kuadriliun.

Dari sisi penghematan tersebut memang ini baik untuk postur APBN AS, tetapi dibalik itu ada PHK besar-besaran yang dikhawatirkan bisa mengguncang pasar tenaga kerja di sana karena tingkat pengangguran akan melonjak lagi.

2. Institusi Besar Pangkas Rating Indonesia

Baru-baru ini, pasar saham Indonesia mendapatkan kabar buruk dari pemangkasan rating oleh institusi besar asing, yakni Goldman Sach.

Goldman Sachs Group Inc. telah menurunkan peringkat pasar saham serta obligasi Indonesia didorong oleh kekhawatiran dampak tekanan perdagangan global hingga pembentukan sovereign wealth fund (SWF) baru RI Daya Anagata Nusantara (Danantara).

Bank investasi asal Amerika Serikat itu menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight menjadi market weight. Goldman Sachs juga menurunkan peringkat surat obligasi negara bertenor 10 tahun sampai 20 tahun menjadi neutral, setelah sebelumnya obligasi tersebut merupakan yang paling disukai pasar.

Sebelumnya, Morgan Stanley juga menurunkan peringkat saham Indonesia dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) dari equal-weight (EW) menjadi underweight (UW) akhir bulan lalu.

Dalam laporannya, MSCI mengatakan, langkah ini diambil seiring dengan melemahnya prospek pertumbuhan ekonomi domestik serta tekanan terhadap profitabilitas perusahaan di sektor siklikal.

Morgan Stanley menyoroti pergeseran tren return on equity (ROE) yang kini lebih menguntungkan China dibanding Indonesia. Analis menilai bahwa ROE saham-saham di China mulai menunjukkan pemulihan, terutama didorong oleh perbaikan kinerja operasional dan efisiensi neraca keuangan pada sektor yang memiliki bobot besar dalam indeks.

Selain faktor fundamental, perbedaan valuasi juga menjadi alasan penurunan peringkat saham Indonesia. Morgan Stanley menyebut valuasi saham China kini lebih menarik dibanding Indonesia, terutama setelah pemerintah China menunjukkan sikap lebih positif terhadap sektor swasta.

2. Minim Katalis Internal

Sementara itu, dari dalam negeri secara makro masih belum banyak katalis positif. Pasar masih meninjau bagaimana kinerja lembaga-lembaga baru yang dibentuk pemerintah akhir-akhir ini seperti Danantara, bank emas, dan yang terbaru menanti Badan Penerimaan Negara.

Sempat jadi perhatian juga soal APBN Kita yang telah merilis laporan bulanan. Dan, hasilnya kita masih tekor atau defisit lagi yang menurut pelaku pasar itu disebabkan Coretax.

Sejauh ini, perhatian masih terfokus secara mikro pada agenda perusahaan seperti RUPS yang akan membahas prospek dividen sampai buyback, terutama ke saham bank besar dan big caps lainnya.

3. Investor Pilih Aset Konservatif

Di sisi lain, pelaku pasar banyak beralih ke aset yang dinilai lebih konservatif seperti emas dan obligasi.

Terpantau pada pagi ini , harga emas berada di level US$ 2.934 per troy ounce atau naik 0,8% karena kekhawatiran terhadap resesi ekonomi yang memaksa sejumlah investor kakap untuk membeli emas untuk lindung nilai portopolio investasi mereka.

Obligasi RI juga terpantau lebih banyak mencatat aliran dana asing sejak awal tahun ini mencapai US$ 1,2 miliar, berbanding terbalik dengan pasar saham yang mencatat net sell asing US$ 1,4 miliar year-to-date.

Kapan volatilitas tinggi ini bisa mereda? Jawabannya adalah ketika ketidakpastian ini mulai pudar atau setidaknya bisa lebih terukur, seperti asing mulai net buy lagi, kejelasan soal tarif trump, sampai kebijakan internal yang lebih pasti, dan potensi penurunan suku bunga agar likuditas kembali lagi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |