Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca jasa terus mengalami defisit meski presiden telah berganti berkali-kali dari Presiden Soeharto hingga Presiden Prabowo Subianto. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari empat dekade, pengeluaran Indonesia lebih besar daripada penerimaan.
Bank Indonesia (BI) pada 20 Februari 2025 telah merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) termasuk neraca jasa. NPI terpantau surplus pada kuartal IV-2024 bahkan meningkat dibandingkan kuartal III-2024, namun tidak dengan neraca jasa yang justru mengalami defisit lebih dalam.
Apabila dilihat lebih dalam, neraca jasa secara setahun penuh (2024) mengalami defisit sebesar US$18,67 miliar atau sekitar Rp 304,32 triliun (US$1= Rp 16.300). Angka ini lebih parah dibandingkan 2023 yang masing-masing defisit sebesar US$17,67, namun tidak separah 2022 yang pada saat itu defisit US$19,96 miliar.
Defisit neraca jasa secara kuartalan terus terjadi bahkan semakin memburuk pada kuartal IV-2024 yang lebih parah dibandingkan kuartal sebelumnya yakni dari US$4,17 miliar menjadi defisit US$5,19 miliar.
Pada kuartal IV-2024, jasa transportasi menjadi penekan defisit lebih parah pada neraca jasa dengan menyumbang sebesar US$2,27 miliar. Sementara secara tahunan, jasa transportasi tetap menjadi variabel yang menjadi penekan nomor satu bagi neraca jasa dengan besaran US$8,84 miliar.
Lebih Dari 40 Tahun, Neraca Jasa Terus Defisit
Dikutip dari tulisan Muhammad Afdi Nizar yang berjudulPENGARUH DEFISIT ANGGARAN TERHADAP DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA, terpantau neraca jasa-jasa mengalami defisit yang terus-menerus terjadi setidaknya sejak 1980-2021 atau41 tahun lebih. CNBC Indonesiatidak menemukan data yang lebih lama dari 1980.
Artinya, defisit sudah berlangsung dari era Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo (Jokowi), hingga awal pemerintahan Prabowo Subianto.
Foto: BI
Sumber: Bank Indonesia
Bila diperhatikan selama ini, neraca jasa-jasa dan pendapatan neto selalu mengalami defisit. Bahkan sejak 2004 hingga 2013, defisit neraca pendapatan telah menjadi kontributor terbesar bagi defisit transaksi berjalan.
Kondisi ini memberikan indikasi bahwa pendapatan yang harus ditransfer ke luar negeri lebih besar dari pada pendapatan yang diterima Indonesia dari luar negeri.
Salah satu pendapatan yang ditransfer ke luar negeri adalah bunga pinjaman luar negeri pemerintah. Besaran bunga pinjaman ini juga dicatat di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan termasuk salah satu penyumbang yang cukup besar bagi defisit anggaran.
Besarnya defisit neraca jasa pada sektor transportasi utamanya dipicu oleh peningkatan defisit pada jasa transportasi (freight) karena masih dikuasainya pelayaran oleh kapal asing.
Laporan Tim Kajian Neraca Pembayaran Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan pada 2012 menyebut kapal berbendera asing diperkirakan menguasai 78% jumlah kapal, 94% daya angkut, dan 90% muatan ekspor dan impor. Sedangkan kapal berbendera Indonesia hanya menguasai kapal-kapal dengan daya angkut yang relatif kecil.
Jumlah tersebut tidak jauh beda selama 10 tahun berselang.
Data Kementerian Perhubungan menyebut jika untuk mengangkut ekspor dan impor Indonesia masih bergantung pada kapal asing. Lebih dari 80% ekspor Indonesia diangkut oleh kapal asing.
Data Indonesian National Shipowners' Association (INSA) bahkan menyebut muatan ekspor impor Indonesia 90% diangkut asing.
Dengan besarnya jasa ekspor impor oleh kapal asing maka setidaknya ada tiga hal yang harus dibayar dalam mata uang asing yakni sewa kapal, tenaga kerja, hingga asuransi.
Rupiah yang Melemah Picu Defisit Neraca Jasa
Ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami depresiasi, maka biaya impor akan menjadi lebih mahal (biaya untuk jasa dari luar negeri naik, misalnya biaya konsultasi, software, dan transportasi).
Kuartal empat seringkali dikorelasikan dengan impor yang tinggi karena momen natal dan tahun baru (nataru). Alhasil, rupiah yang melemah akan semakin memberatkan neraca jasa dan membuat defisit lebih dalam.
Dilansir dari Refinitiv, nilai tukar mata uang Garuda terhadap dolar AS pada 30 September 2024 berada di angka Rp15.135/US$. Sementara pada 31 Desember 2024 terpantau anjlok hingga menyentuh angka Rp16.090/US$ atau tertekan sebesar 6,31%.
Neraca Jasa Bisa Surplus, Asalkan...
Sektor jasa yang melemah, berarti pembayaran untuk impor jasa (keluar) lebih besar daripada penerimaan dari ekspor jasa (masuk). Ini bisa berdampak negatif terhadap ekonomi Indonesia dalam beberapa aspek.
- Peluang kerja di sektor jasa tampak menurun (jika ekspor jasa lemah, sektor seperti pariwisata, transportasi, dan IT akan terkena dampak)
- Pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa melambat (sektor jasa berkontribusi besar terhadap PDB Indonesia. Jika ekspor jasa melemah, pertumbuhan ekonomi bisa terhambat)
- Menurunnya kepercayaan investor (investor akan melihat ini sebagai indikasi lemahnya daya saing sektor jasa Indonesia)
Maka dari itu, Indonesia perlu meningkatkan ekspor jasa (pariwisata, digital, transportasi) dan mengurangi ketergantungan pada jasa impor agar neraca jasa lebih sehat. Berikut ini beberapa cara untuk merubah neraca jasa yang defisit menjadi surplus.
- Meningkatkan pariwisata internasional
- Meningkatkan jasa transportasi internasional
- Ekspansi jasa digital dan teknologi
- Meningkatkan tenaga kerja profesional di luar negeri
- Mengembangkan jasa keuangan dan asuransi lokal
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)