Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang Lebaran kebutuhan umat Muslim Indonesia semakin tinggi. Mulai dari pakaian baru, hidangan khas Hari Raya, hingga akomodasi mudik. Atas dasar ini, masyarakat harus berputar otak mencari uang tambahan.
Untungnya, salah satunya, sekarang ada sistem THR yang memungkinkan seseorang punya uang lebih. Hal berbeda dialami masyarakat Indonesia ratusan tahun lalu yang menjual sawah hingga diri sendiri hanya untuk merayakan Lebaran.
Perlu diketahui, sejak ratusan tahun lalu kebutuhan Muslim di Indonesia memang meningkat jelang Lebaran. Banyak orang mencari cara mendapat uang Lebaran, salah satunya seperti dilakukan orang-orang di Bandung tahun 1894.
Harian Java Bode (6 April 1894) melaporkan, ada warga yang terpaksa menjual sawah dengan harga murah kepada pabrik tebu. Ada pula yang hanya menyewakan sementara waktu. Belum lagi ada yang sampai menjual bahan pangan di bawah harga pasar.
Lebih parah lagi, ada orang yang menjual diri sendiri untuk mendapat kebutuhan jelang lebaran, seperti apel dan telur. Semua ini melibatkan orang-orang Belanda sebagai perantara atau subjek penjualan.
Berbagai aksi demikian didasari oleh tingginya kebutuhan menjelang Lebaran yang berbanding terbalik dengan rendahnya pendapatan kaum pribumi. Parahnya, kondisi ini dimanfaatkan beberapa orang untuk melakukan aksi penipuan kepada para pribumi.
"Pribumi membutuhkan banyak uang untuk Lebaran mendatang dan para perekrut memanfaatkannya," ungkap harian Java Bode.
Kasus paling sering adalah menyunat gaji para kuli yang mencari kerja tambahan jelang Lebaran. Awalnya, secara tertulis para kuli menerima gaji 30 gulden. Namun, kuli tersebut harus menerima 7 gulden saja. Sementara 23 gulden sisanya dibagikan kepada sesama pribumi atau orang Belanda yang terlibat sebagai perantara atau mandor. Dia juga butuh uang untuk Lebaran.
"Tuan dan Nyonya menerima lebih dulu, sisanya 7 gulden untuk kuli yang akan merayakan Lebaran secara menyenangkan," tulis Java Bode.
Lalu, ada juga perempuan yang ditipu. Awalnya, dia dijanjikan untuk bekerja di perkebunan. Namun, dia malah dijadikan pembantu di suatu rumah. Atas dasar ini, redaksi Java Bode meminta pemerintah kolonial memikirkan nasib pribumi yang mengalami kesengsaraan jelang Lebaran. Pemerintah bisa melarang perekrutan kuli hingga penjualan sawah selama bulan puasa.
Kebutuhan Meningkat Jelang Lebaran
Kasus di atas menunjukkan bahwa kebutuhan orang Indonesia memang meningkat jelang Lebaran. Ini terjadi karena warga menganggap Lebaran harus dirayakan penuh suka cita. Caranya dengan membeli pakaian baru, masak hidangan khas, hingga membeli pernak-pernik lain.
Penasehat agama Islam pemerintah kolonial Belanda, Snouck Hurgronje, dalam Aceh di Mata Kolonialis (1906) bercerita, kalau warga di beberapa kota di Indonesia sudah melakukan tradisi beli baju baru. Di Aceh, misalnya, orang lebih memilih beli baju baru dibanding daging saat menjelang Lebaran.
Bahkan, pasar baju jauh lebih ramai dibanding pasar bahan pangan. Lalu, di Jakarta, warga menghabiskan uang lebih banyak hanya untuk beli baju baru, petasan, dan makanan. Hal ini bisa terjadi karena Lebaran adalah hari yang istimewa, sehingga harus dirayakan suka cita.
Pada sisi lain, kebisaan ini dianggap pemerintah kolonial pemborosan.
Dua pejabat kolonial, Stienmetz dan De Wolff, mengaku keberatan atas tradisi lebaran oleh warga Muslim Indonesia. Banyak pegawai pribumi yang mengadakan pesta lebaran secara besar, tetapi modalnya dari meminjam uang.
Namun, Snouck Hurgronje menolak pelarangan tradisi Lebaran tersebut. Sebab, sekalipun dilarang, bukan berarti pribumi langsung berhemat.
"Tidak ada alasan tepat untuk mengadakan imbauan agar membatasi perayaan lebaran. [...] Bahkan, dengan cara itu pun (pelarangan) belum tentu orang akan dapat lebih membangkitkan hasrat berhemat," kata Snouck, dikutip dari Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Jilid IV (1991).
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini: