Jakarta, CNBC Indonesia - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong pemerintah supaya mulai memberlakukan kewajiban bagi platform e-commerce memungut pajak atas pendapatan hasil penjualan secara daring para pelapak atau merchant.
Seiring dengan pemberlakuan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada semester II-2025. Hal ini menjadi salah satu pembahasan saat digelarnya rapat kerja panitia kerja (panja) penerimaan antara pemerintah dengan Komisi XI DPR.
"Salah satu yang disampaikan tadi MBDK, yang kedua adalah e-commerce," kata Wakil Ketua Komisi XI dari Fraksi Nasdem Fauzi Amro, di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (7/7/2025).
"Kita kalau tidak menambah objek pajak baru, pendapatan kita pasti menurun. Dengan kehadiran Pak Bimo ini, kita bilang, Pak Bimo, you harus membuat objek-objek baru dong, karena target pendapatan kita juga harus di angka tadi kan 12,33% (dari APBN)," tegasnya.
Fauzi mengatakan, dalam pembahasan itu, konsep keharusan bagi platform e-commerce memungut pajak atas pendapatan hasil penjualan secara daring para pelapak atau merchant belum secara detail disampaikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.
Ia hanya menekankan, konsep yang digariskan hanya tentang mekanisme pemajakannya yang berasal dari hulu nya, atau e-commercenya itu sendiri. "Dari hulunya kan e-commerce itu ada terdata, baik e-commerce yang di dalam, atau e-commerce yang bersumber dari luar," ucap Fauzi.
Dari sisi DPR, ia mengatakan, saran yang disampaikan supaya pemerintah lebih dulu menerapkan peraturan pemajakannya terhadap e-commerce yang kapasitasnya sudah besar, dan memiliki pelapak dengan pendapatan yang tinggi, bukan UMKM-UMKM skala kecil yang baru tumbuh.
"E-commerce dari luar itu apa saja, e-commerce dari dalam itu apa saja. Tapi jangan sampai e-commerce-e-commerce yang di UMKM, gitu loh atau yang baru mau tumbuh, kita enggak mau. Dia harus ada level minimal, nanti klasternya akan disampaikan," tutur Fauzi.
Fauzi mengatakan, target penerimaan dari konsep pemajakan di e-commerce ini akan lebih besar dari penerapan cukai MBDK yang di kisaran Rp 5-6 triliun. Pemerintah kata dia belum mengungkapkan besaran potensi penerimaan dari keharusan e-commerce memungut para wajib pajak yang berdagang di pasar digital.
"Angkanya belum disampaikan ke kita. Dia (Dirjen Pajak) lagi meng-exercise, apa-apa perusahaannya, di hulunya apa saja, perusahaannya apa saja, nanti dia akan sampaikan ke kita. Kalau e-commerce ini kan enggak kayak MBDK, yang sudah ada kategorinya, 6% ke atas, yang akan dikenakan, itu akan meng adjust sekitar Rp 6 triliunan dapatnya," ujar Fauzi.
Sebagaimana diketahui, pemerintah tengah merampungkan peraturan menteri keuangan (PMK) yang akan menjadi landasan hukum untuk meminta platform e-commerce memungut pajak atas pendapatan hasil penjualan secara daring para pelapak atau merchant.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengatakan, PMK itu kini sudah dalam tahap finalisasi di Kementerian Sekretarian Negara.
"Kita tunggu saja, masih di Mensesneg. Jadi proses, sedang proses, finalisasi," ucap Bimo di kawasan DPR, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Karena masih dalam proses perampungan penerbitan, Bimo enggan mengungkapkan rencana pemberlakuan kebijakannya, apakah akan dilakukan pada semester II-2025 atau tahun berikutnya.
"Kalau spekulasi seperti itu ya, anggap saja spekulasinya Anda. Saya enggak mau spekulasi, dan enggak mau jawab pakai spekulasi. Tunggu saja," tegas Bimo.
Meski belum mau mengungkapkan target pemberlakuan, Bimo meyakinkan bahwa pemerintah sudah memiliki hitung-hitungan dari dampak ekonomi pelaksanaan kebijakan perpajakan itu. Selain itu, juga sudah ada kajian kongkret mengapa kebijakan itu harus ditetapkan.
"Ada, nanti saya rilis, tapi jangan sekarang," ungkap Bimo.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Efisiensi APBN, 2 Dirjen Sri Mulyani Dapat Tugas Khusus Prabowo