Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
30 December 2025 12:50
Jakarta, CNBC Indonesia- Harga cobalt sepanjang 2025 berubah dari komoditas yang tertekan pasokan menjadi logam paling panas di pasar global. Pada Februari, harga sempat jatuh ke sekitar US$21.000 per ton akibat kelebihan pasokan.
Sepuluh bulan kemudian, harganya melonjak ke kisaran US$48.000-55.000 per ton. Lonjakan ini bukan hasil euforia pasar. Ia lahir dari satu keputusan geopolitik yang langsung memukul arsitektur pasokan dunia: Republik Demokratik Kongo (DRC) menghentikan ekspor cobalt, lalu menggantinya dengan rezim kuota. Fakta ini diungkapkan pemerintah Kongo kepada Africanews dan dikonfirmasi oleh data perdagangan global.
Menurut US Geological Survey yang dikutip Africanews, Kongo bukan pemain biasa. Negara ini menyumbang 76% produksi cobalt dunia pada 2024, atau sekitar 220.000 ton.
Artinya, ketika Kongo menghentikan ekspor, dunia kehilangan lebih dari tiga perempat sumber cobalt primer. Pasar yang sebelumnya mengalami surplus langsung berubah menjadi kekurangan pasokan. Harga bergerak bukan karena spekulasi, melainkan karena pasokan fisik mendadak menghilang dari rantai global.
Pemerintah Kongo secara terbuka menyatakan tujuan kebijakan ini bukan lingkungan atau stabilitas regional, melainkan kedaulatan harga. Menteri Keuangan Doudou Fwamba mengatakan Kongo menolak posisi sebagai pemasok 70% lebih cobalt dunia tanpa pengaruh pada pembentukan harga, seperti dilansir Africanews.
Dalam satu dekade terakhir, sebagian besar produksi cobalt Kongo dikendalikan oleh perusahaan tambang China, terutama CMOC yang mengoperasikan tambang raksasa Tenke Fungurume dan Kisanfu. Model lama membuat cobalt mengalir deras ke China saat harga jatuh, menggerus penerimaan fiskal Kinshasa.
Larangan ekspor selama 10 bulan mengubah neraca itu. Menurut Fwamba, harga cobalt naik dari sekitar US$22.000 menjadi US$54.000-55.000 per ton setelah kebijakan tersebut berjalan, dikutip dari Africanews. Ini bukan kenaikan biasa. Untuk negara yang bergantung pada ekspor mineral, lonjakan harga ini berarti lonjakan pendapatan negara dan daya tawar baru dalam kontrak jangka panjang.
Setelah larangan dicabut pada 15 Oktober, Kongo tidak kembali ke sistem lama. Pemerintah memperkenalkan rezim kuota. Menurut transkrip The Hindu BusinessLine, ekspor sampai akhir 2025 dibatasi 18.125 ton, dengan jatah 3.625 ton Oktober, 7.250 ton November, dan 7.250 ton Desember.
Setiap perusahaan wajib mengekspor sesuai alokasi. Jika tidak, kuota dapat dicabut. Pelanggaran lingkungan, pajak, atau transfer ilegal kuota juga berujung sanksi.
Mekanisme ini membuat pasokan cobalt menjadi barang yang dikelola negara, bukan hasil otomatis dari produksi tambang.
BMI Research dari Fitch Solutions memperkirakan harga cobalt akan rata-rata US$55.150 per ton pada 2026. Sementara produksi tambang global diperkirakan sekitar 300.000 ton pada 2026, kuota Kongo membuat kurang dari 200.000 ton yang bisa masuk ke kilang China. Selisih inilah yang menciptakan defisit struktural.
Defisit ini berbahaya bagi sektor baterai. Cobalt adalah komponen kunci baterai lithium-ion berdaya tinggi, dipakai pada kendaraan listrik, ponsel, dan sistem penyimpanan energi.
Dengan stok China yang terkuras selama masa larangan, pembeli kini harus bersaing mendapatkan volume yang dibatasi pemerintah Kongo. Harga naik karena pembuat baterai berebut material yang semakin jarang.
Namun rezim kuota juga membawa konsekuensi jangka menengah. BMI memperingatkan, kenaikan harga akan mendorong industri baterai untuk mengurangi kandungan cobalt dalam kimia baterai atau bahkan menghilangkannya, menurut The Hindu BusinessLine. Teknologi LFP dan nikel-rich cathodes sudah bergerak ke arah itu. Setiap dolar tambahan pada harga cobalt mempercepat riset substitusi.
Indonesia Juga Punya Cobalt
Ancaman lain datang dari luar Afrika. Indonesia sedang mempercepat produksi cobalt sebagai produk sampingan dari industri nikel. Jika volume dari Asia Tenggara ini masuk pasar dalam skala besar, pengaruh Kongo terhadap harga akan melemah. BMI mencatat bahwa pada 2027, kontribusi cobalt terhadap posisi fiskal Kongo bisa tergerus oleh harga tembaga yang lebih tinggi, juga dikutip dari The Hindu BusinessLine.
Indonesia sebenarnya bukan penonton dalam pasar cobalt dunia. Data United States Geological Survey (USGS) menunjukkan produksi cobalt Indonesia mencapai 28.000 ton pada 2024, naik dari 19.000 ton pada 2023, menjadikannya produsen terbesar kedua dunia setelah Kongo.
Dengan volume itu, Indonesia menyumbang porsi material yang signifikan bagi rantai pasok baterai global, terutama ke China. Lonjakan harga cobalt akibat kebijakan Kongo secara teori membuka ruang bagi Indonesia untuk masuk lebih agresif ke pasar.
Namun struktur pasokan Indonesia berbeda dari Kongo. Melansir dari Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Ketua Perhapi, Sudirman Widhy Hartono, menjelaskan bahwa Indonesia tidak memiliki cadangan kobalt primer seperti Kongo. Kobalt di Indonesia muncul sebagai produk ikutan dari pengolahan bijih nikel limonit melalui teknologi HPAL, yang menghasilkan nikel sulfat sebagai produk utama dan kobalt sulfat sebagai hasil samping .
Artinya, volume cobalt Indonesia tidak bisa dinaikkan lewat kebijakan ekspor atau tambang baru kobalt. Ia bergerak mengikuti seberapa besar kapasitas pengolahan nikel yang berjalan.
Foto: Trading Economics
Pergerakan Harga Cobalt
Inilah titik pembatasnya. Ketika Kongo memangkas pasokan lewat larangan dan kuota, mereka mengontrol langsung keran cobalt dunia. Indonesia tidak memiliki tuas yang sama. Produksi cobalt RI akan naik jika proyek HPAL nikel bertambah atau kapasitas pabrik diperluas. Jika ekspansi nikel melambat karena harga atau regulasi, pasokan cobalt ikut tertahan meski harga global sedang tinggi .
Konsekuensinya, Indonesia berada dalam posisi unik. Negara ini ikut menikmati harga cobalt yang melonjak lewat ekspor produk ikutan ke China, namun belum bisa memainkan peran strategis seperti Kongo dalam mengatur pasar.
sebagian besar cobalt Indonesia tetap mengalir sebagai bagian dari rantai nikel menuju China, sehingga peluang menggantikan volume Kongo di pasar baterai global masih terbatas. Selama industri pengolahan cobalt berdiri sebagai turunan nikel, Indonesia akan tetap menjadi pemasok penting, tetapi bukan pengendali harga.
Untuk saat ini, Kongo memegang kendali. Kuota diproyeksikan berlanjut sampai 2027, dengan volume tahunan sekitar 87.000 ton ekspor langsung dan 9.600 ton kuota strategis yang dikendalikan regulator nasional. Selama batas ini dipertahankan, pasar akan tetap ketat dan harga bertahan di kisaran tinggi.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)

3 hours ago
2

















































