Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok sampai 7% pada pukul 11.50 WIB. IHSG turun ke level 6.084. Ini adalah penurunan terdalam sejak pandemi Covid-19 pada 2020.
Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan sementara perdagangan pada sesi I hari ini, Selasa (18/3/2025). IHSG pada pukul 11.19 turun lebih dari 5% ke level 6.146,91.
Pada awal perdagangan, penurunan ditandai oleh saham-saham bluechips yang berjatuhan, seperti bank-bank besar, dan emiten teknologi raksasa milik konglomerat. Setelah IHSG melemah 2%, hampir semua saham tercatat melemah. Rontoknya saham-saham ini dipicu oleh sejumlah sentimen dari dalam negeri. Berikut ini sentimen yang mempengaruhi IHSG:
- APBN Defisit & Penerimaan Pajak
Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga akhir Februari 2025 tercatat defisit Rp31,2 triliun atau 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun, pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024, penerimaan negara anjlok 20,85%.
Hal ini dipengaruhi oleh setoran pajak yang terkontraksi. Pajak tercatat terkontraksi sebesar 30% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 269,02 triliun.
Head of Equity Trading Mitra Andalan Sekuritas (Mitra Pemasaran Mandiri Sekuritas) Arwendy Rinaldi Moechtar mengungkapkan pelemahan ekonomi domestik dan ketidakpastian regulasi.
"Perlambatan ekonomi dalam negeri semakin terasa, tercermin dari turunnya penerimaan pajak yang menunjukkan lemahnya aktivitas bisnis," paparnya.
- Isu Sri Mulyani Mundur
Analis mengungkapkan salah satu penyebab pasar saham lesu hingga siang ini adalah isu mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani mengatakan rumor mengenai Sri Mulyani membuat gejolak pasar.
"Ada juga isu dan rumor Sri Mulyani mau mundur itu juga membuat pasar mengalami gejolak," ucap Arjun kepada CNBC Indonesia, pada Selasa (18/3/2025).
Arwendy juga mengungkapkan bahwa rumor Sri Mulyani menyebabkan arus dana asing keluar dari pasar, sebab investor asing percaya dengan kinerja Sri Mulyani.
"Iya itu indikasi cukup significant, krn asing percaya Sri Mulyani, ucap Arwendy saat dihubungi oleh CNBC Indonesia pada Selasa (18/3/2025).
Sebelumnya, istana sudah buka suara mengenai kabar rencana pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani yang beredar. Menurut Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan Hariqo Wibawa Satria menegaskan bahwa kabar itu hoax.
"Kami ingin menegaskan bahwa informasi yang beredar mengenai pengunduran diri Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan adalah tidak benar alias hoax," kata Hariqo dikutip dari akun Instagram PCO, Selasa (18/3/2025).
Hariqo juga menekankan bahwa tidak pernyataan resmi dari Sri Mulyani maupun pihak terkait.
"Hingga saat ini tidak ada pernyataan resmi sebagaimana disampaikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab," katanya.
Menurutnya, Sri Mulyani saat ini masih bertugas menjalankan dan tanggung jawabnya sebagai Menteri Keuangan. Ia juga mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak terprovokasi kabar yang beredar.
"Kami mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi dan kami meyakini, kami mempercayai masyarakat kita tidak mudah terprovokasi oleh informasi-informasi yang jelas-jelas belum terverifikasi," katanya.
- Pelemahan Daya Beli
Selain pajak dan isu mengenai Sri Mulyani Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan IHSG melemah dipengaruhi oleh faktor domestik. Hal ini terkait dengan adanya pelemahan dari kalangan tingkat menengah yang merupakan sumber pendapatan pemerintah.
"Awal tahun ini yang penuh tantangan mulai dari daya beli lemah yang tercermin dari deflasi secara tahunan pada Februari 2025 merupakan yang terparah dalam seperempat abad," ujar Nafan.
Sebagai catatan, Senin kemarin (17/3/2025), neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus US$ 3,12 miliar pada Februari 2025, menandai neraca perdagangan Indonesia mencetak rekor surplus 58 bulan berturut-turut.
Namun, di tengah surplus tersebut, ada anomali yang muncul. Impor barang konsumsi justru mengalami penurunan dari US$1,64 miliar (Januari 2025) menjadi US$1,47 miliar (Februari 2025).
Apabila dilihat secara month on month (mom) dan year on year (yoy), angka impor barang konsumsi terpantau menurun masing-masing sebesar 10,61% dan 20,97%. BPS mencatat bahwa secara year on year/yoy, penurunan nilai impor barang konsumsi lebih besar lagi, yakni mencapai 21,05%.
Perlu dicatat pada angka impor itu terkhusus di impor konsumsi mengalami penyusutan sebulan sebelum Ramadan tiba. Hal ini tentu cukup mengejutkan karena secara historis impor biasanya melonjak jelang Ramadhan karena kebutuhan yang meningkat.
BPS mencatat angka impor mengalami kenaikan dari US$17,94 miliar (Januari 2025) menjadi US$18,86 miliar (Februari 2025), tetapi barang konsumsi justru mengalami penurunan dari US$1,64 miliar (Januari 2025) menjadi US$1,47 miliar (Februari 2025).
Apabila dilihat secara month on month (mom) dan year on year (yoy), angka impor barang konsumsi terpantau menurun masing-masing sebesar 10,61% dan 20,97%.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan impor barang konsumsi ini sejalan dengan kondisi deflasi bahan makanan sebesar -0,7% secara bulanan atau month to month (mtm) per Februari 2025.
Kondisi itu menandakan daya beli masyarakat sangat rendah, sehingga permintaan barang sangat minim di dalam negeri untuk kebutuhan pangan. Tak adanya permintaan membuat harga-harga barang turun, bahkan tak perlu dipenuhi dari impor.
"Artinya terkonfirmasi memang daya beli masyarakat sedang rendah sehingga permintaan impor turun, harga makanan minuman secara umum juga turun," kata Bhima.
Bhima berpendapat, turunnya impor barang konsumsi menjelang masa Lebaran atau Idul Fitri 2025 maupun memasuki masa Ramadan tak pernah terjadi sebelumnya. Pada 2024 saja, nilai impor barang konsumsi masih tercatat naik baik secara bulanan (mtm) maupun tahunan (yoy).
"Ini anomali yang sebelumnya tidak pernah terjadi," ujar ekonom jebolan University of Bradford itu.
Dengan impor barang konsumsi menurun, artinya jumlah barang yang dibeli dari luar negeri untuk kebutuhan langsung masyarakat mengalami penurunan. Hal ini bisa terjadi karena beberapa alasan dan memiliki berbagai dampak terhadap ekonomi, salah satunya lemahnya daya beli masyarakat.
Pelemahan belanja masyarakat di Indonesia khususnya untuk kalangan bawah nampak terus tertekan. Sebelumnya, data Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan bahwa nilai belanja masyarakat terjadi perlambatan di satu minggu menjelang Ramadan yakni ke 236,2.
Pola ini merupakan anomali karena tidak terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Mandiri Spending Index (MSI) yang menurun jelang Ramadhan terakhir kali terjadi pada Maret 2020 atau lima tahun yang lalu dengan nilai 58.
Untuk diketahui, pada Maret 2020 merupakan awal pandemi Covid-19 yang menyebabkan terjadinya perlambatan konsumsi belanja masyarakat. Secara historis, Ramadan merupakan puncak konsumsi masyarakat Indonesia. Konsumsi juga biasanya sudah melonjak sebelum Ramadan terutama untuk kebutuhan makanan dan minuman. Ramadan tahun ini jatuh pada 1 Maret 2025.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Sebab IHSG Anjlok 6%, Investor Pesimistis Dengan Ekonomi RI?
Next Article Breaking: IHSG Jeblok 1% Jelang Rebalancing Blue Chips