Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas seperti batu bara dan minyak dunia sepanjang pekan ini relatif stagnan dengan tidak terlalu banyak berubah dibandingkan penutupan perdagangan Jumat pekan sebelumnya.
Dilansir dari Refinitiv, sepanjang pekan ini (7-11 April 2025), harga batu bara secara mingguan terapresiasi sebesar 1,02% dari US$98 per ton menjadi US$99 per ton.
Dikutip dari Reuters, Presiden AS, Donald Trump mendorong peningkatan produksi batu bara di Amerika Serikat. Namun,menghidupkan kembali pembangkit batu bara yang sudah dinonaktifkan untuk mencapai tujuan tersebut "tidak masuk akal secara ekonomi,"menurut laporan yang dirilis Kamis oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).
Dalam laporannya, IEEFA menyebutkan bahwa perintah eksekutif Trump berpotensi menunda penutupan pembangkit listrik tenaga batu baradan bahkan mendorong untuk mengaktifkan kembali 102 unit pembangkit yang baru-baru ini ditutup.
Unit-unit tersebut memiliki total kapasitas pembangkitan sebesar36.566 megawatt (MW)dan telah ditutup dalam empat tahun terakhir. Namun,hanya sedikit dari unit-unit tersebut yang layak untuk dihidupkan kembali.
Usia median pembangkit yang pensiun adalah 56 tahun, dan semakin tua usia pembangkit,biaya pemeliharaannya meningkat, yang kemudian mendorong naiknya biaya produksi listrik. Selain itu, untuk memulai kembali operasinya, unit-unit ini perlu menjalani perawatan besar yang mahal dan tertunda.
Sentimen soal kebijakan Trump untuk membangkitkan kembali industri batu bara termasuk di West Virginia, memberikan efek kepada harga batu bara yang berfluktuasi layaknya roller coaster disepanjang pekan ini.
Di pasar minyak, harga Brent pada akhir pekan ini, Jumat (11/4/2025) ada di posisi US$ 64,76 dan WTI ada di US$ 61,5 per barel. Keduanya masih di zona terendah dalam empat tahun terakhir meski sempat menguat setelah Trump mengumumkan U-turn tarif.
Tekanan tambahan datang dari keputusan OPEC+ untuk mempercepat jadwal penambahan produksi, yang semakin membebani prospek harga. Goldman Sachs pun menurunkan proyeksi harga minyak untuk akhir tahun menjad US$62 untuk Brent dan US$58 untuk WTI.
Selain itu, kekhawatiran akan rendahnya permintaan minyak juga semakin memberatkan harga minyak.
China yang dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan pelemahan permintaan industri dan konsumsi minyak. Negara ini menyerap lebih dari 10 juta barel per hari dan menjadi penentu utama harga minyak global.
Jika pertumbuhan ekonominya terganggu akibat pembalasan tarif atau penurunan ekspor, pasar energi global bisa menghadapi kelebihan pasokan dalam waktu dekat.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev)