4 Api Perang Saudara Asia, dari Tetangga RI hingga Panas di Arab

4 hours ago 3
Daftar Isi

Tahun 2025 menjadi tahun penuh gejolak untuk kawasan Asia, dibayangi oleh konflik internal yang berujung pada perang saudara. Pertikaian pun kian menyerupai luka lama yang tak kunjung sembuh.

Di berbagai sudut peta, dari Asia Tenggara hingga Timur Tengah, perang saudara tak hanya menggerus stabilitas politik, tetapi juga memukul warga sipil, ekonomi, dan masa depan generasi berikutnya.

Empat negara menjadi cermin paling nyata betapa perang saudara bukan sekadar soal senjata, melainkan juga soal kekuasaan, identitas, dan kegagalan rekonsiliasi: Myanmar, Sudan, Suriah, dan Yaman.

Myanmar: Pemilu di Bawah Bayang-Bayang Senjata

Empat tahun setelah kudeta militer 2021, Myanmar masih berada dalam pusaran perang saudara yang meluas dan tak terkendali. Junta militer berusaha menampilkan wajah "normalisasi" melalui pemilu bertahap yang digelar pada akhir 2025. Namun di balik bilik suara, suara tembakan masih bergema di banyak wilayah.

Pemilu tersebut berlangsung tanpa kehadiran National League for Democracy (NLD), partai pemenang pemilu 2020 yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Partai itu dibubarkan, sementara Suu Kyi tetap dipenjara.

Di banyak daerah konflik, pemungutan suara bahkan tak dapat dilaksanakan karena pertempuran aktif antara militer dan kelompok perlawanan bersenjata.

Hasil awal pemilu menunjukkan dominasi partai pro-militer, memperkuat dugaan bahwa proses politik ini lebih berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan junta ketimbang jalan menuju demokrasi. Sementara itu, perang di lapangan terus memakan korban sipil.

Serangan udara militer terhadap wilayah permukiman dan konvoi pengungsi memperlihatkan bagaimana garis antara medan tempur dan ruang sipil makin kabur. Ribuan warga terpaksa mengungsi, desa-desa kosong, dan krisis kemanusiaan memburuk.

Myanmar yang bertetangga langsung dengan Indonesia kini menjadi salah satu episentrum konflik paling brutal di Asia Tenggara, sebuah negeri yang menjalani "pemilu di tengah perang".

Serangan udara junta Myanmar menewaskan sedikitnya 40 orang di sebuah desa di negara bagian Rakhine barat. (The Arakan Army via AP)Serangan udara junta Myanmar menewaskan sedikitnya 40 orang di sebuah desa di negara bagian Rakhine barat. (The Arakan Army via AP)

Sudan: Perang Saudara Menghantam Jantung Energi

Sudan menunjukkan wajah baru perang saudara di abad ke-21: konflik bersenjata yang secara sistematis menyerang urat nadi ekonomi negara. Sepanjang 2025, pertempuran antara pasukan pemerintah faksi-faksi bersenjata berkembang menjadi perang teknologi, dengan drone digunakan untuk menghantam ladang minyak dan fasilitas energi strategis.

Dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, SAF adalah militer resmi negara yang menguasai angkatan udara dan struktur pemerintahan formal.

Di sisi lain Dipimpin Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti, Rapid Support Forces (RSF) awalnya adalah milisi paramiliter yang kemudian berkembang menjadi kekuatan tandingan negara. RSF memiliki pasukan darat besar dan menguasai wilayah ekonomi strategis, termasuk jalur perdagangan dan ladang minyak.

Konflik SAF vs RSF menjadikan Sudan medan perang energi, dengan drone digunakan untuk menyerang kilang minyak, pipa, dan pembangkit listrik. Di luar dua kekuatan utama, terdapat pula:

Serangan terhadap infrastruktur minyak menyebabkan pemadaman listrik luas dan lumpuhnya layanan dasar. Kota-kota besar terjerumus dalam kegelapan, sementara warga sipil menghadapi kelangkaan bahan bakar dan kebutuhan pokok. Upaya gencatan senjata yang sempat diumumkan berulang kali gagal, bahkan di kawasan ladang minyak yang seharusnya menjadi zona aman.

Letak geografis Sudan yang dekat dengan Arab Saudi dan jalur energi internasional membuat konflik ini memiliki dimensi regional yang kuat. Ketidakstabilan di Sudan berpotensi mengguncang pasokan energi dan memperburuk ketegangan geopolitik di kawasan Laut Merah.

Di tengah konflik, warga sipil kembali menjadi pihak paling rentan. Perang di Sudan bukan hanya soal perebutan kekuasaan, tetapi juga tentang siapa yang menguasai sumber daya dan siapa yang dikorbankan untuk itu.

Wanita dan pria Kurdi menghadiri pelatihan tentang cara menggunakan senjata di Qamishli, Suriah, 18 April 2025. (REUTERS/Orhan Qereman)Wanita dan pria Kurdi menghadiri pelatihan tentang cara menggunakan senjata di Qamishli, Suriah, 18 April 2025. (REUTERS/Orhan Qereman)

Suriah: Setelah Assad, Perang Belum Usai

Suriah memasuki 2025 dengan status baru: satu tahun setelah tumbangnya Bashar al-Assad. Banyak pihak berharap kejatuhan simbol kekuasaan lama itu menjadi titik balik menuju perdamaian. Namun realitas di lapangan berkata sebaliknya.

Bentrok bersenjata kembali pecah di berbagai wilayah, menewaskan warga sipil dan memaksa ribuan orang kembali mengungsi. Kekosongan kekuasaan pasca-Assad menciptakan fragmentasi baru, dengan kelompok bersenjata lokal dan kepentingan asing masih bersaing memperebutkan pengaruh.

Transisi politik berjalan lamban. Pemerintahan baru kesulitan menyatukan negara yang telah hancur oleh lebih dari satu dekade perang. Infrastruktur rusak, ekonomi terpuruk, dan jutaan pengungsi belum berani pulang. Harapan yang sempat muncul berubah menjadi kekecewaan kolektif.

Suriah menjadi pelajaran pahit bahwa mengakhiri rezim tidak otomatis mengakhiri konflik. Tanpa rekonsiliasi nasional dan stabilitas keamanan, perang saudara hanya berganti wajah.

Pemandangan menunjukkan gumpalan asap besar mengepul dari depot bahan bakar di Port Sudan, Sudan, 6 Mei 2025. (REUTERS/Khalid Abdelaziz)Pemandangan menunjukkan gumpalan asap besar mengepul dari depot bahan bakar di Port Sudan, Sudan, 6 Mei 2025. (REUTERS/Khalid Abdelaziz)

Yaman: Konflik Sunyi Sarat Dendam

Berbeda dengan tiga negara lainnya, Yaman pada 2025 berada dalam fase konflik yang tampak mereda. Pertempuran besar memang berkurang, tetapi perang saudara belum benar-benar berakhir. Yang tersisa adalah ketidakpercayaan, trauma, dan ketegangan politik yang belum terselesaikan.

Hubungan antarnegara Arab yang terlibat dalam konflik Yaman diliputi keraguan. Kesepakatan politik yang ada belum sepenuhnya mampu menjembatani kepentingan faksi-faksi di dalam negeri. Di lapangan, pembagian wilayah kekuasaan masih rapuh.

Konflik yang memuncak pada akhir tahun ini dimulai dari tarik-menarik kekuasaan lokal di Yaman berubah menjadi koalisi bersenjata ketika Dewan Transisi Selatan (STC), yang didukung UEA, memenangkan serangkaian kemenangan cepat di wilayah timur Yaman, khususnya di provinsi kaya minyak seperti Hadramaut dan Al Mahra.

Dukungan UEA kepada STC tidak datang tanpa konsekuensi. Riyadh mengeluarkan peringatan keras bahwa dominasi militer STC di timur Yaman bisa memicu lebih banyak konflik dan ketidakstabilan.

Bagi warga Yaman, perang yang "diam" justru menghadirkan ancaman jangka panjang. Ekonomi hancur, generasi muda tumbuh dalam bayang-bayang konflik, dan luka sosial belum sembuh. Banyak pihak khawatir, tanpa solusi politik yang inklusif, Yaman hanya menunggu waktu sebelum kembali terjerumus ke fase perang terbuka.

(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |